Menggambarkan kehidupan mereka secara pasti sangat sulit. Dan mencari rumusan pendekatannya tidak segampang apa yang terlihat. Kecuali Anda telah menceburkan diri di dalam kehidupan mereka. Saya mencoba menyelaminya dengan keberanian, kesabaran dan ketahanan sebagai orang yang ingin tahu tentang mereka. Diatas semua itu hanyalah rasa penasaran untuk tahu: siapa mereka, kenapa dan bagaimana dengan mereka serta untuk apa mereka berada di
Sengaja saya mencoba dari kesempatan demi kesempatan untuk memotret langkah-langkah mereka selama ini di daerah Tanggul Indah. Alasan dipilihnya daerah itu karena karakteristik tempat ini sangat berbeda dari kebanyakan tempat prostitusi jalanan lainnya. Datang dan perginya para Pelanggan Pekerja Seks tidak ada yang mengatur atau memerintah bahkan pada suatu waktu mereka seperti sebuah habitat, meski satu sama lain adalah berbeda. Beda dari asal-usulnya, status sipil, pendidikan, umur, selera kesenangan dan juga kebiasaannya.
Solidaritas Komunitas
Keberadaan Anda di bantaran Banjir Kanal Timur akan menjadi mustahil jika Anda dengan egois mengumpulkan kekayaan, sementara sebagian orang lain sedang kelaparan. Jika Anda culas di saat hari mujur, siapa yang akan menolong Anda saat sedang susah. Seperti itulah kehidupan malam mereka dimana solidaritas satu sama lain sangat kuat.
Suasana kehidupan malam tidak membutuhkan bimbingan dari para pendahulu atau yang berpengalaman di daerah ini. Mereka pun tidak membutuhkan campur tangan langsung dari siapapun, karena mereka hanyalah komunitas manusia yang senantiasa telah berhasil mempertahankan dan menundukan kerasnya kehidupan Kota Semarang. Daerah ini menjadi sebuah simbol eksistensi masyarakat marginal. Denyut kehidupan kolong jembatan Barito dalam kemelaratan, serba kekurangan dan tidaklah luar biasa, mengingat mereka adalah penghuni liar dan bersifat nomaden.
Wilayah yang sangat kumuh menjadikan orang hanya bisa bertahan hidup disana dengan cara tak henti-hentinya bepergian dari satu tempat ke tempat lain demi mencari kesempatan mengkais rejeki. Kehidupan Pelanggan Pekerja seks dan WPS merupakan perjuangan yang suram dan keras karena ada terlalu banyak orang yang bersaing dan memperebutkan sumber yang sedikit. Kehadiran rasa kekurangan dan terus-terusan distorsi melahirkan kompetisi yang hebat untuk sekedar memenangkan rasa lapar dan harga diri. Kompetisi menjadi esensial bagi ekonomi di Tanggul Indah, sembari sangat menghindari mematikan siapapun karena hal itu bisa menimbulkan balas dendam. Tidak ada seseorang di Tanggul Indah yang pernah menganggap ini dapat disalahkan. Inilah fakta kehidupan yang diterima dan bukan tindakan yang diilhami oleh politik atau kebencian pribadi. Tindakan mereka adalah keharusan, jalan yang kasar dan dikemas untuk mendistribusi ulang kekayaan di sebuah wilayah yang tidak berkelimpahan.
Pelanggan Pekerja Seks
Sebagian dari mereka telah dianggap sebagai pengawal liturgi Tanggul Indah yang orisinal. Para pelanggan pekerja seks di daerah ini hanya berfokus kepada kesenangan dunia. Mereka bersimbiosis dan hidup bersama untuk berputar bersama dalam roda kehidupan sehari-hari. Fantasi tumbuh sumbur dan tidak henti-hentinya muncul di lembah sungai. Mereka butuh realisme pragmatis yang waras,dimana satu sama lainnya telah menerapkan aturan kehidupannya, menjalankan esensi hidup dengan memberi makna kesenangan dan mencegah mereka jatuh dalam perasaan putus asa di kondisi kehidupan yang serba keras. Untuk itu mereka tidak terlalu peduli pada benda-benda simbol kemewahan. Sehingga mereka tidak larut dalam kesedihan dengan hidup yang serba kekurangan. Mereka tidak pernah mencemaskan kehidupan hari berikutnya. Hal itu tampak dari berbagai tips (mel-melan = pungli) yang tak berkesudahan dan kebiasaan mentraktir sesama pelanggan/penghuni yang kebetulan cocok satu sama lainnya.
Saya tidak pernah menyangka bila dalam satu kunjungan seorang Pelanggan Pekerja Seks di Tanggul Indah bisa menghabiskan uang hingga Rp. 400.000,- meski tidak setiap dari mereka akan seroyal ini. Mayoritas mereka membelanjakan wisata syahwatnya hanya Rp. 100.000,-. Yang menjadi pemikiran saya sebenarnya bukan besaran uang yang dihabiskannya, tetapi variabel prosentase dari upah yang mereka miliki dan dicurah begitu saja di Tanggul Indah. Fakta ini seolah-olah telah menjadi ciri khas dari pelaku bisnis seksual - meminggirkan rasio kebijaksanaan.
Rantai Penularan
Beberapa elemen penghuni di kawasan Tanggul Indah terhadap kesehatan reproduksinya telah sedikit banyak mendapat kemajuan mutual dengan adanya penjangkauan dari LSM Peduli AIDS, (LSM Kalandara mendampingi Pelanggan Pekerja Seks & PKBI untuk WPS). Sejauh ini masyarakat akan lebih mudah menuding bahwa WPS adalah biang dari penularan penyakit Infeksi Menular Seksual/IMS, HIV & AIDS. Padahal di luar anggapan tersebut yang perlu diwaspadai adalah transmisi penyakit pada saat mereka berhubungan tanpa pengaman (kondom). Sebagian dari Pelanggan Pekerja Seks yang datang di Tanggul Indah sudah mengenakan sarung pengamannya tetapi justru yang mengkhawatirkan bilamana si-WPS sedang berhubungan dengan pasangannya (Pengangon) dimana sang pengangon tidak mau mengenakan condom. Julukan Pengangon adalah terminologi kata untuk seorang laki-laki yang kumpul kebo bersama pelacur miliknya. Istilah ini akan lebih tepat ditujukan kepada laki-laki yang dihidupi oleh pelacur yang dilandasi oleh hubungan asmara antara WPS dan pengangon. Hal ini ditengerai sebagai salah satu rantai penularan yang tidak disadari (silent vector).
Pada saat saya menjangkau beberapa pengangon, diceritakan bahwa enggan bagi mereka untuk memakai condom. Bahkan di kesempatan berikutnya dituturkan: “ moso karo bojo dewe nganggo kondom” sepintas argumen mereka benar tetapi bila ditelaah lebih jauh sebenarnya sang pengangon ini tidak hanya memiliki satu “bebek” (WPS). Maka bisa dibayangkan bahwa sang pengangon ini bisa jadi adalah salah satu Transmitter (faktor pembawa) IMS dari bebek ke bebek peliharaannya. Karena sudah menjadi tabiat dari pengangon bahwa di setiap kesempatan akan memiliki lebih dari satu bebek.
Selama saya melakukan penjangkauan/outreach terhadap Klien Pelanggan, kesulitan terbesarnya adalah mengidentifikasikan seseorang yang berpredikat sebagai The Real Client.Hal ini karena tidak semua pengunjung prostitusi di non-lokalisasi adalah Pelanggan Pekerja Seksual/WPS, berbeda sekali bila outreach dilakukan di resosialisasi dimana keberadaan mereka yang sudah terlokalisir sedemikian sehingga penjangkauan terhadap Klien laki-laki jauh lebih mudah, mereka yang datang di lokalisasi memang bertujuan untuk ngeseks.
Identifikasi Real Client
Memastikan seseorang adalah Real Client (Pelanggan Pekerja Seks yang datang untuk melacur) akan sedikit rumit, sehingga diperlukan suatu tahapan kalibrasi terhadap pengunjung di Tanggul Indah. Karena tidak semua laki-laki yang berada di Tanggul Indah datang untuk melacur, bisa benar bahwa mereka menyukai pelacuran tetapi tidak untuk bermain seks, sebagian dari mereka berada di Tanggul Indah hanya untuk sekedar melihat pelacuran tanpa harus melakukan aktifitas seksual. Meskipun nampak terlalu teknis, namun dengan sedikit kesabaran akan bisa membedakan seseorang tersebut adalah Real Client dan un-Real Client. Banyak riset yang mengatakan bahwa 80 – 90 % komunikasi adalah non verbal (RH Wiwoho, Understanding NLP, Gramedia, 2002), suatu angka yang cukup besar untuk diabaikan. Dengan mengamati mereka secara seksama dan menemukan bahwa apa yang sedang dirasakan dan dipikirkan seseorang menjejak dalam bahasa tubuhnya dengan cara yang khas pada kebiasaannya, meskipun dengan derajat yang berbeda-beda. Kalibrasi adalah mengamati sasaran outreach saya, mengamati ekspresi perilaku dan mengasosiasikan perilaku tersebut dengan respon internalnya. Semua ini berbasis kepada inderawi. Sehingga di kesempatan berikutnya saya dapat mengenali konstelasi yang sama dari sinyal analog (chemistry) Real Client. Berkat kalibrasi ini saya memperoleh informasi proses pelacuran dan merupakan sarana yang memimpin serta bisa dijadikan model sarana komunikasi verbal berikutnya.
Perubahan Perilaku
Interferensi perubahan perilaku pada seorang Pelanggan Pekerja Seks tidak serta merta dapat membuahkan hasil dengan cepat. Pada momen pertama Pelanggan Pekerja Seks disarankan untuk menggunakan Kondom, seketika itu akan dijawab: “ tidak enak, tidak biasa dsb”. Saya mengerti dan memahami penolakan mereka karena “Ketika melakukan sesuatu yang benar-benar baru dan asing, tubuh dan pikiran Anda melakukan penolakan yang amat dahsyat”. Itu karena subconscious mind (pikiran bawah sadar) kita memiliki sifat homeostatis, yaitu keengganan untuk berubah. Sifat itu yang membuat tiap orang enggan melakukan hal yang baru (perubahan), semua dari kita akan menunjukan penolakan yang berasal dari diri kita sendiri. Subconscious mind resists to change! Homeostatis inilah biang keladinya penghambat perubahan . Dengan cara apa pun sifat ini menentang kita untuk berubah. Begitu sampai di zona nyaman maka perubahan adalah sesuatu yang sangat dimusuhi oleh subconscious mind. Saya mencoba menganalogikan bahwa mereka sudah sekian lama nyaman tanpa kondom dan tidak merasa ada ancaman sakit kelamin. Subconscious mind mereka enggan berubah jika tidak dipaksa oleh suatu keadaan. Penyampaian informasi secara telaten saat outreach itulah yang saya gunakan untuk memulai moment perubahan, minimal perubahan pada cara pandangnya bahwa seks yang tidak aman akan mengambil resiko terhadap IMS, HIV dan AIDS, terlebih lagi bila memakai joke lokal andalan saya, bahwa: “ngono yo ngono ning ojo ngono” = begitu ya boleh - asal tidak begitu. Agaknya bebasan jawa yang bernada guyon ini, tidak minteri dan tidak mengitimidasi telah sedikit membuat terbuka pikiran dari Pelanggan Pekerja Seks untuk di interferensi - melepaskan hambatan-hambatan mental dan menciptakan behaviour of excellence (kebiasaan yang lebih baik) untuk sekedar “memulai perubahan” kebiasaan beresikonya. arko@kalandara
0 komentar:
Post a Comment
kalandara_org@yahoo.com