Sejauh ini, saya telah berhubungan dengan lingkaran prostitusi jalanan dan pemain-pemainnya, isi perdagangan seks, WPS (wanita pekerja seksual), pelanggan (Klien) dan gemblekan. Tetapi tidak ada mucikarinya, apakah gemblekan itu sekaligus mucikari? Apa yang sesungguhnya terjadi pada gemblekan? Bukankah mucikari penting dalam bisnis prostitusi. Atau gemblekan adalah seseorang yang lebih penting perannya sekaligus memegang kendali sebagai mucikari?. Sebagaimana kita ketahui bahwa prostitusi jalanan adalah praktek prostitusi tanpa lembaga maka batang hidung mucikari hampir tidak pernah tampak. Keberadaan WPS begitu mandirinya dan ini adalah ciri khas dari prostitusi jalanan, kalaupun ada seseorang yang berperan sebagai mucikari maka dia tidak seutuhnya berfungsinya sebagai mucikari dari WPS itu sendiri. Di beberapa ruas jalanan Kota Semarang hampir tidak ditemukan adanya mucikari dan kalaupun ada seseorang yang mengelola beberapa WPS, maka semata-mata mereka adalah segelintir orang yang ikut mendulang untung dari bisnis bunga berserak ditepi jalan. Diantaranya adalah para pemilik kamar sewa, pemilik warung tongkrong yang dipakai sebagai ajang interaksi WPS dan Klien atau seseorang yang berperan sebagai keamanan, yang dituakan plus dihormati karena memiliki peranan lebih di lingkungan tersebut.
Gemblekan
Bertanya kepada WPS apakah mereka mempunyai mucikari otomatis akan membuat kita tampak tolol sendiri dan ini akan menunjukan bahwa anda berasal dari dunia lain. Tetapi bila kita menanyakan kepadanya apakah mereka memiliki teman istimewa, wooiiih! So pasti mereka akan dengan senang hati menceritakan dengan hebohnya tentang bagaimana keduanya hidup, bagaimana mereka memenuhi kebutuhannya dan apa yang dilakukan pada siang hari. Mereka itulah yang disebut dengan gemblekan.
Ini adalah hubungan cinta dimana si perempuan melacurkan dirinya, biasanya atas keputusan bersama. Gemblekan ini tidak memaksanya untuk berada di jalanan. Kadang mereka adu mulut, cekcok sebagaimana terjadi dengan lumrahnya pada setiap pasangan. Tetapi alasan cekcok mereka bukan karena si perempuan meminta ijin turun di jalanan. Tetapi lebih karena masalah uang dan rasa cinta. Para gemblekan mempunyai hubungan seks yang pendek dengan WPS, hubungan seksnya sangat acak diantara kelompok-kelompok pelacur jalanan. Hubungan antara gemblekan dan WPS tidak ada hubungannya dengan “cinta betulan” atau dibanjiri dengan perasaan tergila-gila yang berjangka panjang. Justru sebaliknya, hubungan mereka ditandai dengan kegilaan yang seru, labil dan ketertarikan seksual yang bersifat temporer.
Berbagi peran
Mereka bukan sepasang kekasih, yang mengikat janji di depan altar atau penghulu, mereka hanya persekutuan singkat dan secara khas melibatkan orang dengan berbagai umur. Sebagian besar dari mereka sepelantaran(penulis) atau hidup bersama dengan Mas Gemblekan yang lebih dewasa. Tetapi ada juga WPS yang bersimbiosis dengan yang lebih muda, mereka memelihara “Brondong’(penulis). Dari beberapa gemblekan, sebut saja dengan Anto (nama samaran) yang selalu mengantar dan menunggu kebo-nya, dapat diperoleh informasi bahwa hubungannya dengan “bojo-bojoan”nya semata-mata karena hubungan perkongsian belaka. Ketika ditanyakan bagaimana dengan hubungan seksualnya selama ini, dengan cukup diplomatis dijawab bahwa lebih sering hanya 1 kali per bulan. Dia berujar : “kasihan kan Mas, bojoku telah bekerja turun dijalanan tiap malamnya, mosok aku memaksa dijatah”. Karuan jawabannya demikian, karena dia masih “main” dengan teman mesra lainnya. Sehingga alih-alih demi menjaga keberlangsungannya maka porsi dia lebih sebagai pengawal dan mengatur keberadaan bininya itu ketika harus turun di jalanan. Bahkan Anto ini sadar betul akan aset bininya, maka ketika mengantarkan si Bini, di bawah jok motornya telah dilengkapi pula dengan keperluan obat-obatan ringan dalam kemasan praktis dan juga kondom.
Sementara Andi dan Inge (nama samaran) yang selama ini tinggal di jalanan Majapahit dengan sebuah ruangan kecil untuk tidur, tanpa kamar mandi ataupun dapur. Mereka meminta maaf seperti layaknya ungkapan seorang tuan rumah yang biasa kita temui, “ maaf tempatnya berantakan”. Padahal tidak ada yang berantakan, segalanya telah persis pada tempatnya. Sementara Inge bekerja, saya wawancara dengan Andi, wawancara berjalan lancar hingga Inge kembali. Inge tidak begitu suka saya mewawancarai Andi. Lagipula ia sangat kesal dengan semua ketegangan di jalan karena razia Satpol PP. Hingga akhirnya Inge keluar lagi hanya sekedar untuk mencari sebotol “congyang”. Akhirnya saya putuskan pulang agar suasana mereka membaik. Andi selama ini ber co–habitat dengan Inge karena Andi butuh seks gratis, tempat tinggal dan makan yang zonder fulus(penulis). Bahkan untuk keperluan pribadinya, terkadang Andi masih harus menjual diri bila telah merencanakan sesuatu yang ingin dia miliki. Mayoritas gemblekan sebetulnya mirip dengan Anto dan Andi mereka mempunyai bentuk ekonomi yang terbagi-bagi. Uang untuk makan, sewa kamar, melunasi hutang dan dihambur-hamburkan dengan pergi keluar untuk bersenang-senang dan membeli pakaian, dandan dan alkohol. Uang panas ini tidak punya nilai apa-apa. Uang itu terbakar habis di dompet dan habis begitu saja. Andi menjelaskan uang yang diperoleh hasil main seks tidak ada nilainya.
Silent Vektor
Keberadaan gemblekan menjadi sangat penting untuk dicermati dan tidak boleh luput dari perhatian kita semua, terutama dalam rantai penyebaran IMS (infeksi menular seksual). Seperti halnya penuturan Andi dan Anto kepada saya, “Aku nuthuk(penulis) dengan bini sendiri mosok pake kondom”. Kedengarannya logis tetapi bila dirunut jejak petualangannya, maka inilah silent vektornya ( vektor pembawa bisu / tidak disadari). Bagaimana akan menjadi aman dari IMS bila bini mereka turun di jalanan tiap hari sebagai tong sperma dan gemblekannya sendiri masih juga memiliki teman intim yang lain. Bisa itu WPS, pacar atau istri sahnya. Bisa jadi Mas Gemblek inilah yang menjadi salah satu vektor pembawa kuman IMS dari bunga ke bunga. Sering sudah mereka saya informasikan tentang IMS, HIVdan AIDS dan membudayakan mereka untuk memakai kondom di setiap aktifitas peraduannya dengan bojo-bojoannya. Karena saya berpikir bahwa informasi adalah kekuatan dan kepedulian dari mereka akan menjadi pemberdayaan. Inilah gambaran akan rumitnya hubungan WPS dan “Gemblekan” dan apakah ini akan dianggap sebagai suatu realitas atau relationship mereka sebagai suatu penyimpangan sosial, penilaiannya saya kembalikan kepada anda semua. Yang pasti mereka itu ada, terjadi secara natural dan telah menjadi bagian dari masyarakat jalanan. (arko@kalandara)
Berondong : laki-laki muda yang kumpul kebo dengan perempuan yang lebih tua.
Bojo-bojoan : teman kumpul kebo
Sepelantaran: seumuran
Satpol PP : Satuan Polisi Pamong Praja
Congyang : miras berkadar alkohol 19,5%
Zonder : tanpa
Fulus : uang
Nuthuk : senggama

nuthuk karo bojo2an
ReplyDelete